Rabu, 25 Maret 2015

[CUAP-CUAP] Makhluk Dar, Der, Dor



 [CUAP-CUAP] Makhluk Dar, Der, Dor

 (ASSA)


Sumber: Foto Assa
Dalam tulisan lainku, saya mengatakan bahwa aku bukanlah murid ‘’Jalaludin Rumy’’, seorang Sufi, penyair asal Balkh (Sekarang Afganistan) yang mampu menggubah syair melalui tarian Darwish-nya hingga jiwanya mencapai ekstase,  bukan pula pengikut setia Buya Hamka si Penggubah novel ‘’Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk’’, yang konon bisa meneteskan air mata para pembacanya. Saya bukanlah orang yang gemar menulis dengan mengahadirkan berbagai referensi yang valid dan bahkan tidak sedikit meminjam kata-kata orang lain dalam setiap tulisanku dan bahkan sebagian isi otak Reza Nufa penulis Novel yang berjudul ‘’HANIF. Zikir dan pikir’’harus saya ambil untuk membumbui ocehanku. Saya cuma orang yang baru mendapat hidayah untuk belajar menorehkan kata-kata yang terlintas dalam pikiranku, dengan harapan menjadi orang yang gemar mengoceh di atas slide putih, semata agar saya tidak tertekan, dan syukur-syukur hal ini mampu menjaga kegemaranku mengoceh. Itulah maksudku menggiring ocehan ini. Usai membacanya, kamu tidak harus berpikir keras untuk mempercayainya, sebab ini hanya ocehan. Cukup coba pahami perasaan saya. Jika itu kau mampu lakukan. Jika tidak maka tinggalkanlah ocehanku ini dengan tidak menyentuhnya dengan tangan jahilmu. Namun Saranku, jika hatimu terketuk untuk mendengarkan ocehan ini, cobalah sambil mendengar Lagu White Lion yang berjudul Where The Children Cry. Tentu itu bukan kali pertama saya mendengarnya. Hanya saja, kemarin saya mendengar lagu itu setelah selesai membaca berita pembantaian Yang dilakukan ISIS.



Mungkin sudah saatnya kita merenungi makna cerita yang kerap kali kita menganggapnya kuno, yang pernah di ungkapkan para leluhur kita bahwa orang-orang yang mampu memahami bumi, tak akan pernah segan untuk menyuguhkan permohonan maaf kepada rerumputan yang terlindas oleh kakinya yang kokoh, bahkan dalam setiap langkahnya yang gontai tersandung kerikil jalanan, mereka tak segan meneteskan air mata, air mata ungkapan penyesalan.

Saat ini, Ketika jumlah manusia mengglobal, kian banyak masalah yang mencuak dengan gayanya yang congkak. Kriminalitas terjadi dimana-mana, perang saudara di Maluku yang konon katanya dipicu perselisihan antar agama, pembantaian di Poso, Sulawesi Tengah, konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, gerakan penuntutan kemerdekaan di Papua Nugini yang diprakarsai OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan akhir ini kita tercengang dengan gerakan ISIS (Islam Irak Dan Syria) yang tak pernah merasa bersalah walau secuil dengan pembantaian ummat manusia yang mereka lakukan di Timur Tengah. Di tengah krisis moralitas ini, di samping merasa sedih, justru saya merawat rasa bahagia dengan perang antar manusia. Tidak perlu heran. Nyatanya populasi manusia perlu dikurangi untuk memberi kesempatan kepada makhluk lain untuk berkembang. Tempat-tempat yang terisolasi dari manusia karena keberadaan radiasi nuklir buktinya telah menjadi tempat berkembang yang baik untuk pepohonan. Pada kasus lain, koloni pertama manusia di Australia telah memusnahkan beberapa spesies lain yang tinggal di sana. 

Saya pernah mendengar kisah seorang bocah yang mendapat teguran dari kekeknya lantaran menebang pepohon liar di belakang rumahnya. Dia berkata ‘’Hanya karena kamu punya golok yang yang tajam, bukan berarti kamu perlu menebang semua pohon. Itu tidak ada gunanya’’. Kata-kata itu selalu terngiang dalam kepala bocah itu. Dan ia bahkan perlu berhati-hati ketika ingin menyapu lantai yang bersemut. Mengulang cerita ini, sayapun teringat akan nyamuk yang pernah saya tepuk lantaran mengisap sedikit darahku. Sejenak saya merasa lega ketika melihat nyamuk itu lepes menyatu dengan dinding kostanku. Namun rasa itu tiba-tiba hilang berganti dengan rasa sedih dan penyesalan. Dalam kegamanganku saya berkata ‘’Sungguh jahatnya saya. Apalah arti dari kematian seekor nyamuk buat saya? Apakah dengan membunuhnya, akan mengembalikan darah yang telah dihisapnya? Dalam gumamku aku berkata  ‘’Sungguh perbuatan yang sia-sia’’.

Mungkin lebih bijak jika kita hidup seperti orang-orang Hunza. Mereka tidak hobi beranak-pinak, tidak gemar merusak alam, tidak butuh berbagai macam kecanggihan teknologi (karena memang hidup mereka tidak runyam), dan sama sekali mereka tidak mencari perhiasan. Pencapaian tertinggi mereka dalam kehidupan adalah ketika mampu selaras dengan alam, selaras dengan tetangga, bukan justru berusaha menaklukkan keduanya. 

Kasus yang terbaru, orang membubrah sungai, menjarah hutan, melubangi gunung, untuk berebut secuil batu akik yang kemudian disematkan di jarinya. Alangkah membanggakan, bukan? Nah, bayangkan jika ada dua puluh juta lelaki Indonesia yang punya syahwat untuk memakai dan mengoleksi batu akik, ada berapa hutan, sungai, dan gunung yang harus diperkosa?


Bukan cuma akik, sebetulnya. Emas, minyak bumi, semen, kayu jati, sirip hiu, sarang walet, telur dinosaurus barangkali, adalah termasuk barang-barang yang dibutuhkan sekaligus mengakibatkan kerusakan pada alam, dan dengan sendirinya akan memperparah kelangkaan sumber daya. Maka, semakin banyak manusia terlahir, makin habis alam ini, dan peperangan akan makin subur. Awalnya manusia akan berkelahi untuk sesuatu yang prestisius, semacam kebanggaan diri (batu akik!), namun lama kelamaan mereka akan bertengkar untuk sesuatu yang lebih mendasar dalam kehidupan, yakni kehidupan itu sendiri. Saya membayangkan, suatu ketika nanti, saat manusia sudah amat susah untuk mendapat udara segar, susah mencari air bersih, mereka akan berharap rangka atap rumahnya yang terbuat dari kayu kembali menjadi pohon dan mereka tidak lagi perlu berperang untuk selembar udara segar. 

Namun itulah kenyataannya..!!
''Dunia ini menyediakan segala keperluan  untuk memuaskan kebutuhan  manusia, namun  untuk tidak memenuhi keserakahan  manusia''. (Mahatma Gandhi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar