[CUAP-CUAP] Makhluk Dar, Der, Dor
(ASSA)
Sumber: Foto Assa |
Dalam
tulisan lainku, saya mengatakan bahwa aku bukanlah murid ‘’Jalaludin Rumy’’, seorang Sufi, penyair asal Balkh (Sekarang Afganistan) yang mampu menggubah syair melalui tarian Darwish-nya hingga jiwanya mencapai ekstase,
bukan pula pengikut setia Buya Hamka si Penggubah novel ‘’Tenggelamnya Kapal
Van Der Wicjk’’, yang konon bisa meneteskan air mata para pembacanya. Saya bukanlah orang yang gemar menulis dengan mengahadirkan
berbagai referensi yang valid dan bahkan tidak sedikit meminjam kata-kata orang
lain dalam setiap tulisanku dan bahkan sebagian isi otak Reza Nufa penulis
Novel yang berjudul ‘’HANIF. Zikir dan pikir’’harus saya ambil untuk membumbui
ocehanku. Saya cuma orang yang baru mendapat hidayah untuk belajar menorehkan
kata-kata yang terlintas dalam pikiranku, dengan harapan menjadi orang yang
gemar mengoceh di atas slide putih, semata agar saya tidak tertekan, dan
syukur-syukur hal ini mampu menjaga kegemaranku mengoceh. Itulah maksudku
menggiring ocehan ini. Usai membacanya, kamu tidak harus berpikir keras untuk
mempercayainya, sebab ini hanya ocehan. Cukup coba pahami perasaan saya. Jika
itu kau mampu lakukan. Jika tidak maka tinggalkanlah ocehanku ini dengan tidak menyentuhnya dengan tangan jahilmu. Namun Saranku, jika
hatimu terketuk untuk mendengarkan ocehan ini, cobalah sambil mendengar Lagu
White Lion yang berjudul Where The Children
Cry. Tentu itu
bukan kali pertama saya mendengarnya. Hanya saja, kemarin saya mendengar lagu
itu setelah selesai membaca berita pembantaian Yang dilakukan ISIS.
Mungkin
sudah saatnya kita merenungi makna cerita yang kerap kali kita menganggapnya kuno, yang pernah di ungkapkan para
leluhur kita bahwa orang-orang yang mampu memahami bumi, tak akan pernah segan
untuk menyuguhkan permohonan maaf kepada rerumputan yang terlindas oleh kakinya
yang kokoh, bahkan dalam setiap langkahnya yang gontai tersandung kerikil
jalanan, mereka tak segan meneteskan air mata, air mata ungkapan penyesalan.
Saat ini, Ketika
jumlah manusia mengglobal, kian banyak masalah yang mencuak dengan gayanya yang
congkak. Kriminalitas terjadi dimana-mana, perang saudara di Maluku yang konon
katanya dipicu perselisihan antar agama, pembantaian di Poso, Sulawesi Tengah,
konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, gerakan penuntutan kemerdekaan di
Papua Nugini yang diprakarsai OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan akhir ini kita
tercengang dengan gerakan ISIS (Islam Irak Dan Syria) yang tak pernah merasa
bersalah walau secuil dengan pembantaian ummat manusia yang mereka lakukan di
Timur Tengah. Di tengah krisis moralitas ini, di samping merasa sedih, justru saya
merawat rasa bahagia dengan perang antar manusia. Tidak perlu heran. Nyatanya
populasi manusia perlu dikurangi untuk memberi kesempatan kepada makhluk lain
untuk berkembang. Tempat-tempat yang terisolasi dari manusia karena keberadaan
radiasi nuklir buktinya telah menjadi tempat berkembang yang baik untuk
pepohonan. Pada kasus lain, koloni pertama manusia di Australia telah memusnahkan
beberapa spesies lain yang tinggal di sana.
Saya pernah
mendengar kisah seorang bocah yang mendapat teguran dari kekeknya lantaran
menebang pepohon liar di belakang rumahnya. Dia berkata ‘’Hanya karena kamu punya
golok yang yang tajam, bukan berarti kamu perlu menebang semua pohon. Itu tidak
ada gunanya’’. Kata-kata itu selalu terngiang dalam kepala bocah itu. Dan ia
bahkan perlu berhati-hati ketika ingin menyapu lantai yang bersemut. Mengulang
cerita ini, sayapun teringat akan nyamuk yang pernah saya tepuk lantaran
mengisap sedikit darahku. Sejenak saya merasa lega ketika melihat nyamuk itu
lepes menyatu dengan dinding kostanku. Namun rasa itu tiba-tiba hilang berganti
dengan rasa sedih dan penyesalan. Dalam kegamanganku saya berkata ‘’Sungguh
jahatnya saya. Apalah arti dari kematian seekor nyamuk buat saya? Apakah dengan
membunuhnya, akan mengembalikan darah yang telah dihisapnya? Dalam gumamku aku
berkata ‘’Sungguh perbuatan yang sia-sia’’.
Mungkin
lebih bijak jika kita hidup seperti orang-orang Hunza. Mereka tidak hobi
beranak-pinak, tidak gemar merusak alam, tidak butuh berbagai macam kecanggihan
teknologi (karena memang hidup mereka tidak runyam), dan sama sekali mereka
tidak mencari perhiasan. Pencapaian tertinggi mereka dalam kehidupan adalah
ketika mampu selaras dengan alam, selaras dengan tetangga, bukan justru
berusaha menaklukkan keduanya.
Kasus yang terbaru, orang membubrah sungai,
menjarah hutan, melubangi gunung, untuk berebut secuil batu akik yang kemudian
disematkan di jarinya. Alangkah membanggakan, bukan? Nah, bayangkan jika ada
dua puluh juta lelaki Indonesia yang punya syahwat untuk memakai dan mengoleksi
batu akik, ada berapa hutan, sungai, dan gunung yang harus diperkosa?
Bukan cuma
akik, sebetulnya. Emas, minyak bumi, semen, kayu jati, sirip hiu, sarang walet,
telur dinosaurus barangkali, adalah termasuk barang-barang yang dibutuhkan
sekaligus mengakibatkan kerusakan pada alam, dan dengan sendirinya akan
memperparah kelangkaan sumber daya. Maka, semakin banyak manusia terlahir,
makin habis alam ini, dan peperangan akan makin subur. Awalnya manusia akan
berkelahi untuk sesuatu yang prestisius, semacam kebanggaan diri (batu akik!),
namun lama kelamaan mereka akan bertengkar untuk sesuatu yang lebih mendasar
dalam kehidupan, yakni kehidupan itu sendiri. Saya membayangkan, suatu ketika
nanti, saat manusia sudah amat susah untuk mendapat udara segar, susah mencari
air bersih, mereka akan berharap rangka atap rumahnya yang terbuat dari kayu
kembali menjadi pohon dan mereka tidak lagi perlu berperang untuk selembar udara
segar.
Namun itulah kenyataannya..!!
''Dunia ini menyediakan segala keperluan untuk memuaskan kebutuhan
manusia, namun untuk tidak memenuhi keserakahan manusia''. (Mahatma
Gandhi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar