Rabu, 25 Maret 2015

AKU, ABAH HAMKA DAN KANG ASFAR (ASSA)

  
Memang aneh jika seorang pengagum para founding Father Sastra di negeri ini, memulai goresan tangannya di atas kertas putih dengan penuh kecemasan. Takutnya, karya sederhana yang ia buat tidak akan memperoleh posisi positif dimata pembaca, di iris setajam silet, atau malah diposisikan sebagai catatan terjelek sedunia, dan bahkan di spam-kan dengan menekan tombol Del+Enter, segesit kilat. Hmm.., Separah itukah yang akan terjadi...? Jika iya, maka habislah diriku yang merasakan hal demikian sebagai penggubah pemula yang sedikit berbangga oleh karena di akui secara sah oleh www.blogger.com alias diberdayakan oleh Blogger.com (Buka halaman blog, lihat tulisan yang paling bawah), entahlah..!! Tapi aku memiliki sebuah pertanyaan tentang perjalanan Buya Hamka dalam merilis novelnya ‘’Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk’’. Apakah yang dilakukan Buya Hamka, saat ia mendapat kritikan pedis yang bertubi-tubi dari sastrawan semasanya ketika usai menggelar penerbitan perdana novelnya yang bercerita tentang ‘’Pertentangan adat Minangkabau dengan adat Makassar’’..?

Ia, dituduh melakukan praktek Plagiat atas novel yang pernah terbit di dunia barat, hingga seorang sastrawan terkemuka di negeri ini, Pramodya Ananta Tour harus merela dirinya tersekap dalam arus cacian pedis yang berputar kencang, lantaran membantu Hamka dalam penerbitan novel yang banyak membuat pembacanya meneteskan air mata kesedihan atas kisah yang dikandungnya. Apakah Hamka berhenti menulis..? Saya pikir tidaklah demikian..!! Sebab karangan karangan lain Buya Hamka, kian membludag bagai letusan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Seandainya kejadian itu membuat karya-karyanya terhenti, maka aku sebagai pengagumnya, berani mengatakan bahwa memang Sakitnya Tuh disini..!! (Sambil menunjuk hati), judul lagu dari Cita Citata. Namun, sekali lagi bahwa Hamka adalah sosok sastrawan yang teguh dan penuh keberanian, keberanian berlari menembus badai kritikan dan cacian. 

Dan bagaimana dengan petuah dari para penulis modern, yang salah satunya adalah Maulana Asfar Nurdin, penulis asala Bugis Bulukumba, Sulawesi Selatan bahwa  Tiada kata untuk berhenti menulis, menuliskan semua ide dan gagasan yang terlintas dalam hati dan pikiran, menunaikan salah satu kewajiban sebagai makhluk Tuhan yang sempurna, melawan kematian dan mengekalkan nama selagi waktu masih berputar’’. (Maulana Asfar Nurdin).

Abah Hamka menyapa...!!!


Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup,
Kalau hidup sekadar bekerja, kerbau di sawah juga bekerja.
Hidup ini bukanlah suatu jalan yang datar dan ditaburi bunga, melainkan adakalanya di sirami air mata dan juga darah’’. (Buya Hamka)


Dan saya melanjutkan..!!!

‘’Cerita Harus Dikatakan, sebab jika tidak dikatakan maka itu bukan cerita.
Cerita Harus Didengarkan, sebab jika tidak didengarkan, kasian si ‘Pencerita’.
Cerita Harus Dituliskan, sebab jika tidak dituliskan, maka ceritamu akan terkubur di liang lahat jiwa yang paling dalam, yang takkan pernah terjamah oleh siapapun. Maka tuliskanlah kisahmu’’.( Asmin Salim).

Baubau, 23/03/2015, 1.48 Wita
Wasalam

[CUAP-CUAP] Makhluk Dar, Der, Dor



 [CUAP-CUAP] Makhluk Dar, Der, Dor

 (ASSA)


Sumber: Foto Assa
Dalam tulisan lainku, saya mengatakan bahwa aku bukanlah murid ‘’Jalaludin Rumy’’, seorang Sufi, penyair asal Balkh (Sekarang Afganistan) yang mampu menggubah syair melalui tarian Darwish-nya hingga jiwanya mencapai ekstase,  bukan pula pengikut setia Buya Hamka si Penggubah novel ‘’Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk’’, yang konon bisa meneteskan air mata para pembacanya. Saya bukanlah orang yang gemar menulis dengan mengahadirkan berbagai referensi yang valid dan bahkan tidak sedikit meminjam kata-kata orang lain dalam setiap tulisanku dan bahkan sebagian isi otak Reza Nufa penulis Novel yang berjudul ‘’HANIF. Zikir dan pikir’’harus saya ambil untuk membumbui ocehanku. Saya cuma orang yang baru mendapat hidayah untuk belajar menorehkan kata-kata yang terlintas dalam pikiranku, dengan harapan menjadi orang yang gemar mengoceh di atas slide putih, semata agar saya tidak tertekan, dan syukur-syukur hal ini mampu menjaga kegemaranku mengoceh. Itulah maksudku menggiring ocehan ini. Usai membacanya, kamu tidak harus berpikir keras untuk mempercayainya, sebab ini hanya ocehan. Cukup coba pahami perasaan saya. Jika itu kau mampu lakukan. Jika tidak maka tinggalkanlah ocehanku ini dengan tidak menyentuhnya dengan tangan jahilmu. Namun Saranku, jika hatimu terketuk untuk mendengarkan ocehan ini, cobalah sambil mendengar Lagu White Lion yang berjudul Where The Children Cry. Tentu itu bukan kali pertama saya mendengarnya. Hanya saja, kemarin saya mendengar lagu itu setelah selesai membaca berita pembantaian Yang dilakukan ISIS.



Mungkin sudah saatnya kita merenungi makna cerita yang kerap kali kita menganggapnya kuno, yang pernah di ungkapkan para leluhur kita bahwa orang-orang yang mampu memahami bumi, tak akan pernah segan untuk menyuguhkan permohonan maaf kepada rerumputan yang terlindas oleh kakinya yang kokoh, bahkan dalam setiap langkahnya yang gontai tersandung kerikil jalanan, mereka tak segan meneteskan air mata, air mata ungkapan penyesalan.

Saat ini, Ketika jumlah manusia mengglobal, kian banyak masalah yang mencuak dengan gayanya yang congkak. Kriminalitas terjadi dimana-mana, perang saudara di Maluku yang konon katanya dipicu perselisihan antar agama, pembantaian di Poso, Sulawesi Tengah, konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, gerakan penuntutan kemerdekaan di Papua Nugini yang diprakarsai OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan akhir ini kita tercengang dengan gerakan ISIS (Islam Irak Dan Syria) yang tak pernah merasa bersalah walau secuil dengan pembantaian ummat manusia yang mereka lakukan di Timur Tengah. Di tengah krisis moralitas ini, di samping merasa sedih, justru saya merawat rasa bahagia dengan perang antar manusia. Tidak perlu heran. Nyatanya populasi manusia perlu dikurangi untuk memberi kesempatan kepada makhluk lain untuk berkembang. Tempat-tempat yang terisolasi dari manusia karena keberadaan radiasi nuklir buktinya telah menjadi tempat berkembang yang baik untuk pepohonan. Pada kasus lain, koloni pertama manusia di Australia telah memusnahkan beberapa spesies lain yang tinggal di sana. 

Saya pernah mendengar kisah seorang bocah yang mendapat teguran dari kekeknya lantaran menebang pepohon liar di belakang rumahnya. Dia berkata ‘’Hanya karena kamu punya golok yang yang tajam, bukan berarti kamu perlu menebang semua pohon. Itu tidak ada gunanya’’. Kata-kata itu selalu terngiang dalam kepala bocah itu. Dan ia bahkan perlu berhati-hati ketika ingin menyapu lantai yang bersemut. Mengulang cerita ini, sayapun teringat akan nyamuk yang pernah saya tepuk lantaran mengisap sedikit darahku. Sejenak saya merasa lega ketika melihat nyamuk itu lepes menyatu dengan dinding kostanku. Namun rasa itu tiba-tiba hilang berganti dengan rasa sedih dan penyesalan. Dalam kegamanganku saya berkata ‘’Sungguh jahatnya saya. Apalah arti dari kematian seekor nyamuk buat saya? Apakah dengan membunuhnya, akan mengembalikan darah yang telah dihisapnya? Dalam gumamku aku berkata  ‘’Sungguh perbuatan yang sia-sia’’.

Mungkin lebih bijak jika kita hidup seperti orang-orang Hunza. Mereka tidak hobi beranak-pinak, tidak gemar merusak alam, tidak butuh berbagai macam kecanggihan teknologi (karena memang hidup mereka tidak runyam), dan sama sekali mereka tidak mencari perhiasan. Pencapaian tertinggi mereka dalam kehidupan adalah ketika mampu selaras dengan alam, selaras dengan tetangga, bukan justru berusaha menaklukkan keduanya. 

Kasus yang terbaru, orang membubrah sungai, menjarah hutan, melubangi gunung, untuk berebut secuil batu akik yang kemudian disematkan di jarinya. Alangkah membanggakan, bukan? Nah, bayangkan jika ada dua puluh juta lelaki Indonesia yang punya syahwat untuk memakai dan mengoleksi batu akik, ada berapa hutan, sungai, dan gunung yang harus diperkosa?


Bukan cuma akik, sebetulnya. Emas, minyak bumi, semen, kayu jati, sirip hiu, sarang walet, telur dinosaurus barangkali, adalah termasuk barang-barang yang dibutuhkan sekaligus mengakibatkan kerusakan pada alam, dan dengan sendirinya akan memperparah kelangkaan sumber daya. Maka, semakin banyak manusia terlahir, makin habis alam ini, dan peperangan akan makin subur. Awalnya manusia akan berkelahi untuk sesuatu yang prestisius, semacam kebanggaan diri (batu akik!), namun lama kelamaan mereka akan bertengkar untuk sesuatu yang lebih mendasar dalam kehidupan, yakni kehidupan itu sendiri. Saya membayangkan, suatu ketika nanti, saat manusia sudah amat susah untuk mendapat udara segar, susah mencari air bersih, mereka akan berharap rangka atap rumahnya yang terbuat dari kayu kembali menjadi pohon dan mereka tidak lagi perlu berperang untuk selembar udara segar. 

Namun itulah kenyataannya..!!
''Dunia ini menyediakan segala keperluan  untuk memuaskan kebutuhan  manusia, namun  untuk tidak memenuhi keserakahan  manusia''. (Mahatma Gandhi).