Memang aneh
jika seorang pengagum para founding
Father Sastra di negeri ini, memulai goresan tangannya di atas kertas putih
dengan penuh kecemasan. Takutnya, karya sederhana yang ia buat tidak akan
memperoleh posisi positif dimata pembaca, di iris setajam silet, atau malah
diposisikan sebagai catatan terjelek sedunia, dan bahkan di spam-kan dengan
menekan tombol Del+Enter, segesit kilat. Hmm.., Separah itukah yang akan
terjadi...? Jika iya, maka habislah diriku yang merasakan hal demikian sebagai
penggubah pemula yang sedikit berbangga oleh karena di akui secara sah oleh www.blogger.com
alias diberdayakan oleh Blogger.com (Buka halaman blog, lihat tulisan yang
paling bawah), entahlah..!! Tapi aku memiliki sebuah pertanyaan tentang
perjalanan Buya Hamka dalam merilis novelnya ‘’Tenggelamnya Kapal Van Der
Wicjk’’. Apakah yang dilakukan Buya Hamka, saat ia mendapat kritikan pedis yang
bertubi-tubi dari sastrawan semasanya ketika usai menggelar penerbitan perdana
novelnya yang bercerita tentang ‘’Pertentangan
adat Minangkabau dengan adat Makassar’’..?
Ia, dituduh
melakukan praktek Plagiat atas novel
yang pernah terbit di dunia barat, hingga seorang sastrawan terkemuka di negeri
ini, Pramodya Ananta Tour harus
merela dirinya tersekap dalam arus cacian pedis yang berputar kencang, lantaran
membantu Hamka dalam penerbitan novel yang banyak membuat pembacanya meneteskan
air mata kesedihan atas kisah yang dikandungnya. Apakah Hamka berhenti
menulis..? Saya pikir tidaklah demikian..!! Sebab karangan karangan lain Buya
Hamka, kian membludag bagai letusan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Seandainya
kejadian itu membuat karya-karyanya terhenti, maka aku sebagai pengagumnya,
berani mengatakan bahwa memang Sakitnya Tuh disini..!! (Sambil menunjuk hati),
judul lagu dari Cita Citata. Namun, sekali lagi bahwa Hamka adalah sosok
sastrawan yang teguh dan penuh keberanian, keberanian berlari menembus badai
kritikan dan cacian.
Dan bagaimana dengan petuah dari para penulis modern, yang salah
satunya adalah Maulana Asfar Nurdin, penulis asala Bugis Bulukumba, Sulawesi
Selatan bahwa Tiada kata untuk berhenti
menulis, menuliskan semua ide dan gagasan yang terlintas dalam hati dan pikiran,
menunaikan salah satu kewajiban sebagai makhluk Tuhan yang sempurna, melawan
kematian dan mengekalkan nama selagi waktu masih berputar’’. (Maulana Asfar
Nurdin).
Abah Hamka menyapa...!!!
Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga
hidup,
Kalau hidup sekadar bekerja, kerbau di sawah
juga bekerja.
Hidup ini bukanlah suatu jalan yang datar dan
ditaburi bunga, melainkan adakalanya di sirami air mata dan juga darah’’. (Buya
Hamka)
Dan saya melanjutkan..!!!
‘’Cerita Harus Dikatakan, sebab jika tidak
dikatakan maka itu bukan cerita.
Cerita Harus Didengarkan, sebab jika tidak
didengarkan, kasian si ‘Pencerita’.
Cerita Harus Dituliskan, sebab jika tidak
dituliskan, maka ceritamu akan terkubur di liang lahat jiwa yang paling dalam,
yang takkan pernah terjamah oleh siapapun. Maka tuliskanlah kisahmu’’.( Asmin
Salim).
Baubau, 23/03/2015, 1.48 Wita
Wasalam